everyday's tidbits

Monday, December 04, 2006

Kalteng II: Terdampar di Sungai Kapuas


Tanggal 23-24 Nopember kemaren, saya kebagian jalan-jalan ke daerah sepanjang Sungai Kapuas Hilir, yaitu desa-desa Katunjung, Sei. Ahas, Katimpun, Kalumpang, Mantangai, dan Pulau Kaladan. Sungai Kapuas ini, dari hulu ke hilir, panjangnya 600 km, saya hanya menyusuri bagian hilirnya saja. Peta ini saya kopi dari situs Wetlands International.

Saya berangkat dari Pulang Pisau tengah hari, diantar seorang teman dari LSM, dan seorang driver (kali ini bukan vegetarian). Kami harus menyeberang Sungai Kapuas, naik ferry lagi. Kali ini ferry-nya lebih besar, cuma seramnya, ya itu, karena sungai sedang surut-surutnya, beda tinggi antara "pelabuhan" ferry (kami menyebutnya "batang") dengan ferry agak jauh. Batang kayu yang diletakkan menghubungkan "batang" dan ferry mempunyai kemiringan hampir 45 derajat. Saya saja takut-takut menuruninya, maklum terpeleset adalah my middle name, cuma ya kok jarang jatuh. Jadi saya cukup kagum melihat kemampuan driver membawa mobil menuruni kayu setipis itu (diinjak aja melengkung) menuju ferry.

Perjalanan dengan ferry sekitar 10-15 menit-an, gak tahu sih tarifnya berapa. Kemudian kami meneruskan perjalanan ke Mantangai dengan mobil. Sebenarnya ada fasilitas speedboat ke Mantangai, cuma jadinya gak bisa bawa barang banyak dan berat, karena speedboat-nya speedboat reguler yang bawa penumpang. Jadi kami melaju melewati jalan yang kelihatannya hanya kami sendiri saja yang lewat: tidak ada berpapasan dengan siapa pun, kecuali beberapa sepeda motor. Rumah pun bisa dihitung dengan jari tangan. Bisa dibilang jalan yang kami lalui itu bukan jalan: kalo gak batu semua, ya jalan pasir dan tanah merah, yang karena habis hujan, benar-benar becek dan mengancam akan membuat roda mobil terjebak di tengah daerah antah-berantah itu. Untungnya mobil hari itu pakai Ranger, itu aja, haduh.... Gak bisa tidur lah pokoknya (padahal saya kan mampu tidur dalam keadaan apa pun). Omong-omong, sepanjang tepi jalan penuh dengan tanaman paku (kelakai), makanan kesukaanku (dan kesukaan mereka penduduk Kapuas Hilir).

Kami tiba di Mantangai sore jam 3-an. Dari sana, kami menyewa speedboat untuk menelusuri seluruh desa sepanjang Sungai Kapuas Hilir, lumayan mahal juga: Rp 650.000. Ternyata bukan speedboat kecil seperti yang kubayangkan, melainkan longboat: speedboat panjang. Bentuknya mirip sekali dengan kelotok, cuma jauh lebih lebar dan panjang. Sebagai orang yang selalu paranoid kalo-kalo kapalnya miring dan barang-barangku terguling-guling masuk ke air, kapal ini serasa rumah terapung.

Sungai Kapuas sangat luas. Desa-desa di sepanjang Sungai Kapuas Hilir ini cukup unik. Dan untuk ukuran saya yang suka berjalan-jalan, agak terisolasi. Bayangkan, antar desa dipisahkan dan dilingkupi oleh hutan lebat yang luas dan lebar, dan satu-satunya jalan untuk berkunjung antar desa hanya melalui Sungai Kapuas, pakai perahu kelotok. Puskesmas hanya ada satu, yaitu di desa terbesarnya, Mantangai. Untungnya di tiap desa, ada 1 bidan atau mantri (perawat laki-laki). Kebayang kan kalo penyakitnya rumit, bisa mati duluan sebelum keburu dibawa ke Puskesmas. Kalau si dokter Puskesmas (hanya ada 1 dokter umum PNS dan 1 dokter gigi PTT) tidak rajin keliling, tidak akan ada manfaatnya keberadaan Puskesmas di daerah Kapuas Hilir.

Pekerjaan utama mereka adalah petani karet. Dari cerita penduduk setempat, dan dari cerita driver kami yang punya keluarga di daerah sana, karet yang mereka tanam adalah karet lokal, yang mempunyai harga jual lebih murah daripada karet non-lokal. Masa menyadapnya juga lebih pendek. Harga jualnya sulit untuk bersaing, apalagi banyak perantara yang menekan harga jual, karena pada siapa lagi para petani itu menjual? Mau menjual sendiri, terlalu mahal biaya transpornya. Tiap hari mereka menyadap, paling cukup hanya untuk kebutuhan sehari-hari untuk beberapa hari saja. Para penduduk kelihatannya tidak punya kebiasaan menabung, karena pada musim hujan, dimana tidak bisa menyadap secara maksimal, penghasilan menurun, dan angka gizi buruk langsung meningkat.

Angka diare juga tinggi di daerah Kapuas Hilir. Kenapa? Sumber air minum dan MCK mereka adalah air sungai. Tahu kan air sungai Kapuas, coklat. Selain itu, tentu banyak E. coli-nya karena MCK masih di sungai: buang air di jamban cemplung; mandi, mencuci pakaian dan piring, serta sikat gigi di "batang", di situ-situ juga. Untungnya di base-nya LSM tempat aku menginap pakai air PDAM, tapi melihat airnya di bak, hhhh, kok gak kalah coklat dan lengketnya dengan air sungai ya? Itu bener gak sih pemprosesannya? Akhirnya tetep aja semua minum dari Aqua botol. By the way, kamar mandi di base besar sekali, seukuran kamar tidur besar, dari kayu ulin, jadi inget jaman masih kecil dulu di Hulu Sungai :)

Selain sumber airnya yang dari sungai, air sumber itu tidak diproses dulu loh sebelum diminum. Pas naik longboat, saya singgah di tepi sungai, ke sebuah warung minum. Ternyata disodorin gelas berisi air berwarna agak kuning. Saya menatap ngeri ke gelas, dan bertanya, erm, ini airnya dimasak gak Pak? Dijawab: "Kalo dimasak, airnya ya tidak manis lagi, dik." Hah? Jadi? "Ya langsung diambil dari sungai, langsung diminum." Alamaaaak! Saya tanya: "Gak takut diare, Pak?" "Ah biasa sih diare di sini, dik. Nanti juga sembuh." Hwaduh.

Di rumah penduduk lain, ada yang airnya jernih, ternyata ditawas dulu, tapi tetep gak dimasak. Jadi pas malam-malam kami makan di warung, teman-teman pada beli Aqua. Saya kurang suka air dingin, sebenarnya, lebih suka teh panas. Saya pikir kalo panas ya pasti direbus kan. Jadi saya pesan teh panas. Belakangan temenku bilang bahwa yang namanya teh panas tu kalo di warung bikinnya separonya saja air mendidih, separonya ya air sungai itu, kan gak kelihatan lagi kuningnya kalo udah jadi teh. Astaga! Untung saya gak diare. Salut untuk teman-teman LSM yang tinggal di Mantangai. Ada beberapa LSM di sana, paling gak ada 3 yang base-nya berdekatan.

Karena kebanyakan ngomel dalam hati mengomentari air minum orang, rupanya saya kualat. Jam 6 sore, masih di perjalanan lewat sungai, hujan turun dengan lebatnya, disusul dengan mesin longboat yang tiba-tiba mati. Terapung-apunglah kami di tengah Sungai Kapuas. Hari mulai gelap, dan kapal yang lewat tidak mau singgah menarik kapal kami (mungkin kami disangka perampok hehehe, mosok ada perampok naik longboat?). Terpaksa kami berkayuh perlahan ke tepi, sesampai di tepi, kami bermaksud minta tarik dengan perahu kelotok. Ternyata tidak ada yang mau. Seram juga sih sudah gelap, soalnya. Haduh, mana sampelku harus terus-menerus dingin, kalo es batu yang kubawa sudah mencair, rusaklah sampel air yang kuambil seharian. Jadi kami terpaksa turun ke desa untuk beli es batu di Pulau Kaladan, dan mencari perahu kelotok. Akhirnya ada yang mau, tapi bukan untuk menarik longboat. Kamilah yang harus pindah ke kelotok mereka. Jadilah, kami naik kapal kelotok yang kecil banget cuma muat badan, tidak beratap, sebentar-sebentar perahunya miring, mengarungi sungai yang bergelombang besar, di bawah hujan lebat, langit yang berkilat-kilat menyeramkan dan guntur menyambar-nyambar. Mana saya dipayungi lagi, padahal saya protes, takut disambar petir, kan gak lucu kalo paginya aku ditemukan sudah moksa. Dinginnya amit-amit, mana gelap, kelotok kan gak punya lampu. Jadi ya cumpa lampu senter yang kadang dinyalakan. Dan tahu kan bagaimana kecepatan kelotok, seperti siput, mana melawan arus lagi. Rasanya berjam-jam baru sampai. Mana gak kelihatan lagi mau singgah di mana. Untung orang-orang di base, yang heran kok kami gak pulang-pulang, terus menyorot-nyorotkan lampu senter dari "batang". Besoknya saya bener-bener flu.

Esok paginya baru saya sempat melihat-lihat desa Mantangai. Mantangai Hulu mayoritas beragama Kristen, karena banyak orang Dayak. Mantangai Tengah dan Hilir mayoritas menganut agama Islam. Penduduknya ramah-ramah, tapi itu mungkin karena saya dikelilingi orang LSM. Mantangai, dibanding dengan desa-desa lainnya, jauh lebih mirip kota kecil, tetapi jalanannya hanya bisa dimuati 1 mobil. Seperti di desa Timpah, di sini orang pada punya parabola, ada yang 2 sekaligus.

Pagi-pagi ada penjaja kue yang singgah, juga bibi jamu. Ada kue gagatas (ketan ditumbuk dengan terigu dan kelapa parut, digoreng, dan digulingkan pada gula halus), apam, pais (nagasari), donat, roti pisang, dan bikang. Nyam-nyam-nyam, lupa bahwa pastinya tu kue pasti terkontaminasi E. coli juga. Jamu juga diserbu, lagi-lagi lupa bahwa airnya pasti tidak masak. Kebetulan di base lagi penuh sesak orang-orang nginap, dari badan non-pemerintah dan pemerintah. Yang tadinya masih bergelimpangan tidur di lantai, langsung terbangun mendengar ada kue.

Ada hal lucu tentang es batu. Saya kan perlu es batu dalam jumlah besar untuk pengawetan sampel air. Agak ribet, karena sama seperti kebanyakan desa di Kalteng, di Mantangai listrik hanya menyala mulai jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Pada malam hari saya menggunakan kulkas, pada siang hari saya beli es batu. Kebetulan belinya kebanyakan, jadi es itu saya tinggal di base, sambil saya bilang: "Hati-hati lo, ni es batu jangan diminum, airnya pasti gak dimasak." Apa jawaban teman-teman LSM yang orang asli Kalteng? "La iya lah! Mana mungkin es batu dibuat dari air masak? Kalo pakai air masak, mana bisa beku!" Halah halah...

Besoknya saya pulang ke Palangkaraya dulu, dan kali ini, gara-gara sesumbar gak pernah jatuh, pas menuruni kayu dari "batang" ke ferry, saya terpeleset, dan tahu-tahu saya sudah terduduk di atas kayu itu. Anehnya gak terus menggelincir ke air, hehehe. Abis deh lecet-lecet di mana-mana, gara-gara refleks menyelamatkan benda-benda kaca, kamera, dan hp yang saya bawa. Waduh, kalau bercerita sama orang rumah, pasti diultimatum harus pijat nih *hih geli* Dari Palangkaraya, saya pulang ke Banjarmasin dengan teman-teman yang kebagian jalan ke Timpah. Istirahat dulu nih, karena Senin-nya saya mesti berangkat lagi ke Sebangau.

22 Comments:

:
:
:

BloggerHacks

<< Home